Ketika Seorang Guru Memilih Hutan: Perjalanan Diana Cristiana di Pedalaman Papua
Di sebuah ruang kelas berdinding papan di Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, terdengar suara anak-anak mengeja huruf demi huruf dengan penuh semangat. Di depan mereka berdiri seorang perempuan muda berkulit sawo matang, mengenakan seragam sederhana dan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Namanya Diana Cristiana Da Costa Ati, guru asal Nusa Tenggara Timur yang memilih mengabdikan hidupnya di salah satu daerah paling terpencil di Papua Selatan.
Ketika banyak lulusan sarjana pendidikan berlomba mencari pekerjaan di kota, Diana justru melangkah ke arah sebaliknya, menyusuri sungai, menembus hutan, dan tinggal di kampung yang bahkan tak tersentuh jaringan internet. “Saya tidak mau hanya jadi guru di tempat nyaman. Saya ingin hadir di tempat di mana guru sangat dibutuhkan,” ujarnya dalam sebuah wawancara yang dikutip dari Bisnis Indonesia.
Pilihan itu bukan keputusan spontan. Ia menyadari, menjadi guru di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) berarti menyiapkan diri menghadapi kesepian, keterbatasan, bahkan rasa takut. Namun, bagi Diana, pendidikan adalah cahaya yang layak diperjuangkan, bahkan dari tempat paling gelap sekalipun.
Awal Langkah: Dari NTT Menuju Tanah Papua

Diana lahir dan besar di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Ia tumbuh di tengah keluarga sederhana, di mana pendidikan dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan. Setelah lulus dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, ia sempat mengajar di daerah asalnya. Namun hatinya gelisah.
Suatu hari, ia membaca informasi tentang program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) — sebuah inisiatif pemerintah untuk menempatkan guru-guru muda di wilayah yang kekurangan tenaga pendidik. Tanpa ragu, ia mendaftar. “Saya merasa terpanggil,” katanya. “Kalau bukan kita yang muda-muda ini, siapa lagi?”
Penempatan pertamanya adalah di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi. Untuk mencapai kampung itu, perjalanan memakan waktu berjam-jam dengan perahu kecil menyusuri sungai, dilanjutkan berjalan kaki melintasi rawa dan hutan. Tak ada listrik, tak ada jaringan telepon, bahkan sekolah pun hanya memiliki beberapa ruang kelas dengan meja dan kursi yang nyaris rubuh.
Namun, ketika pertama kali mengajar, Diana justru merasakan kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Anak-anak datang dengan baju lusuh, kaki telanjang, tapi membawa semangat belajar yang besar. Di sanalah ia mulai memahami bahwa menjadi guru bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa.
Kelas Tanpa Meja dan Tantangan Sehari-hari
Ketika dipindahkan ke SD Negeri Atti di Distrik Minyamur, tantangan semakin besar. Banyak anak kelas 5 dan 6 belum bisa membaca atau menulis. Sebagian bahkan belum mengenal angka. Kondisi itu membuatnya sempat tertegun. “Awalnya saya tidak tahu harus mulai dari mana,” ungkapnya.
Namun, ia tak menyerah. Diana mulai dari hal paling dasar: mengenalkan huruf, angka, dan suara. Ia menulis huruf-huruf besar di papan, mengulanginya setiap hari sampai anak-anak hafal. Ia membuat lagu sederhana agar mereka mudah mengingat. Dan yang paling penting, ia menumbuhkan rasa percaya diri di hati mereka.
Di kelas yang tak memiliki cukup meja, anak-anak belajar sambil duduk di lantai. Beberapa meja sudah patah, tapi mereka tetap antusias. “Ibu guru, kami takut meja patah,” ujar salah satu muridnya polos, membuat Diana terenyuh.
Selain mengajar, Diana juga menjadi penggerak komunitas. Ia mendatangi rumah-rumah warga, berbicara dengan orang tua, dan mengajak mereka agar tak lagi membiarkan anak-anak tinggal di rumah untuk membantu berburu atau berkebun. “Saya bilang, sekolah itu penting. Anak-anak harus belajar supaya bisa menolong kampungnya kelak,” tuturnya.
Setiap sore, Diana menyalakan lampu pelita di rumah dinas sederhana yang ia tempati. Di bawah cahaya redup itu, ia menyiapkan bahan ajar dan menulis catatan harian. “Kadang saya menangis. Tapi setiap kali besok melihat anak-anak datang ke sekolah, semua lelah itu hilang,” katanya lirih.
Mengajar dengan Cinta di Tengah Keterbatasan
Dalam dunia pendidikan modern, banyak sekolah berbicara tentang teknologi digital, pembelajaran berbasis AI, atau kurikulum merdeka. Namun di pedalaman Atti, Diana berhadapan dengan realitas yang jauh berbeda. Tak ada sinyal, tak ada laptop, bahkan papan tulis pun sudah retak.
Kondisi ini tidak membuatnya putus asa. Ia justru berinovasi dengan cara sederhana. Ia membuat kartu huruf dari karton bekas, menggambar angka di pasir, dan mengajarkan matematika dengan menggunakan batu-batu kecil. “Saya ingin anak-anak tahu bahwa belajar bisa dari apa saja, asal mau,” ujarnya.
Beberapa kali, kapal logistik yang membawa bahan makanan dan perlengkapan sekolah tidak datang tepat waktu. Persediaan menipis, tapi Diana dan rekan-rekannya tetap bertahan. “Kami berbagi beras, berbagi lilin. Di sini, kebersamaan itu kunci,” tuturnya.
Ketika ada waktu luang, ia menulis refleksi tentang pengalamannya di pedalaman Papua dan mengirimkannya ke media daring. Tulisan-tulisannya kemudian viral dan menginspirasi banyak orang di luar sana yang mungkin belum pernah membayangkan seperti apa wajah pendidikan di ujung negeri ini.
Dari Pelosok Mappi, Harapan Itu Tumbuh
Diana bukan hanya mengajarkan calistung—baca, tulis, hitung—tetapi juga menanamkan mimpi. Ia bertanya kepada murid-muridnya, “Kalau besar nanti mau jadi apa?”
Salah satu anak menjawab pelan, “Mau jadi guru seperti Ibu.”
Jawaban sederhana itu membuat Diana menangis. Di balik keterbatasan, ia melihat masa depan yang mulai menyala. Kini, beberapa muridnya telah melanjutkan sekolah ke SMP di distrik tetangga. Bagi Diana, itu sudah menjadi kemenangan besar.
Ia sadar bahwa perubahan tidak datang cepat. Namun langkah kecil bisa menyalakan perubahan besar. “Saya percaya, satu huruf yang mereka kenal hari ini bisa menjadi awal untuk seribu peluang di masa depan,” ucapnya.
Jejak Pengabdian yang Menginspirasi

Kisah Diana Cristiana Da Costa Ati menyentuh hati banyak orang karena ia bukan hanya guru, tapi juga simbol ketulusan dan harapan. Ia mengajarkan bahwa pendidikan sejati bukan soal fasilitas, tapi soal kehadiran dan kasih.
Perjalanannya di Mappi juga menjadi pengingat bahwa masih ada banyak anak Indonesia yang belum mendapatkan hak pendidikan yang layak. Dan masih ada guru-guru yang berjuang dalam diam, jauh dari sorotan, untuk memastikan cahaya pengetahuan tetap hidup di tempat-tempat yang nyaris terlupakan.
“Kalau ada yang tanya apa yang membuat saya bertahan,” kata Diana, “jawabannya sederhana: senyum anak-anak setiap pagi.”
Di penghujung tahun 2023, pengabdian Diana mendapat pengakuan nasional. Ia terpilih sebagai penerima SATU Indonesia Awards kategori pendidikan — penghargaan yang diberikan oleh Astra kepada anak muda yang berkontribusi nyata dalam lima bidang: kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi. Program ini telah berjalan sejak 2010 dan menjadi salah satu ajang apresiasi paling bergengsi bagi pejuang perubahan di berbagai pelosok Indonesia.
Melalui penghargaan itu, nama Diana Cristiana Da Costa Ati kini dikenal luas. Namun bagi dirinya sendiri, penghargaan bukan tujuan akhir. “Saya hanya ingin memastikan, tidak ada lagi anak-anak di pelosok yang merasa pendidikan bukan untuk mereka,” ucapnya.
Dan di suatu pagi di pedalaman Papua, suara anak-anak kembali menggema dari ruang kelas sederhana itu, suara yang menjadi bukti bahwa pengorbanan seorang guru dapat mengubah arah hidup sebuah generasi. #APA2025-BLOGSPEDIA
Sumber:
https://samleinad.com/diana-cristiana-da-costa-ati-guru-penggerak-pendidikan-di-pedalaman-papua
https://kabar24.bisnis.com/read/20241109/79/1814604/kisah-guru-diana-merajut-asa-di-pelosok-papua
https://sumateraekspres.bacakoran.co/read/24304/perjuangan-diana-cristiana-menembus-pedalaman-atti-wujudkan-mimpi-sekolah-anak-anak-papua
https://www.detik.com/edu/edutainment/d-7582780/perjuangan-guru-diana-mengajar-sd-di-pedalaman-papua
https://regional.kompas.com/read/2019/11/12/08100011/ini-kondisi-sekolah-di-papua-yang-ditulis-dalam-surat-untuk-mendikbud-nadiem?page=all